Minggu, 04 Oktober 2009

GEISHA

“GEISHA adalah artis. Menjadi geisha adalah menjadi sebuah karya seni yang bergerak. Kita menciptakan sebuah dunia rahasia, tempat di mana yang ada hanyalah keindahan” (Mameha, Memoirs of Geisha)

Menonton Memoirs of Geisha adalah menyaksikan sebuah pengalaman hidup seorang geisha. Cinta, harapan, dan takdir memang tak selalu sejalan beriringan. Lewat film ini, jawaban seakan-akan disodorkan pada penonton menyangkut apa itu geisha. Geisha bukanlah pelacur. Ia tak lain adalah seniman atau artis yang dituntut menguasai berbagai keahlian menghibur, main musik dan menari. Pada akhirnya, geisha menjadi bagian penting dalam kehidupan borjuis Jepang kala itu. Perannya tidak bisa dianggap sebelah mata. Aura sensualitas menjadikannya pemikat. Menjadikannya sebagai bagian dari kultur dan khasanah serta tradisi Jepang.

Geisha berasal dari kata dalam bahasa Jepang gei yang berarti seni. Seorang geisha terlatih menyanyi, menari, dan memainkan musik seperti kecapi. Geisha merupakan sumber pesona di negara asalnya, Jepang, dan mancanegara. Geisha bukan wanita tunasusila yang wajahnya berlumur make-up putih dan mengenakan kimono dari bahan sutra saja, melainkan seorang wanita yang mencari nafkah dengan menghibur para pria berkedudukan tinggi. Geisha juga harus pandai berbicara, menjaga rahasia bahkan mampu menciptakan suasana dramatis hanya dengan menggerakkan kipas atau menggoda seseorang dengan hanya sedikit menampilkan belakang lehernya atau sekilas pergelangan tangannya.

Perempuan dijadikan komoditi

Cerita dimulai dengan adegan Chiyo (sayuri muda) dijual bersama kakaknya (satsu). Hal ini menandakan bahwa wanita seringkali hanya dianggap “barang” yang bisa dipertukarkan dengan uang. Era dimana tuan tanah dan pedagang kaya berkuasa, kemiskinan seakan menjadi takdir. Tertutupnya peluang untuk bekerja dan merintis karir membuat mereka menjual bagian dari keluarganya guna mendapatkan uang untuk pengobatan ibunya yang sakit keras.

Menurut Marx (Fakih, 2002: 7), komoditi selain memiliki sifat kegunaan (used value) juga mengandung sifat ‘exchange value’ yaitu sifat untuk diperjualbelikan. Geisha muncul karena perempuan jepang “dipaksa” untuk menjual tenaga mereka dalam bentuk yang dibutuhkan oleh kelas sosial tertentu untuk kelangsungan hidupnya. Komoditi baginya tidak hanya sebagai benda, melainkan tersembunyi hubungan sosial. Komoditi dapat dipertukarkan bukan saja karena fisiknya, melainkan hubungan sosial dari tenaga yang terkandung didalamnya. Tawar-menawar antara ”pemilik” dan ”pelatih” dalam film Memoirs of Geisha juga menggambarkan bahwa geisha adalah ”industri” yang menguntungkan.

Bagaimana pemilik rumah geisha (Nitta) menghasilkan kekayaan dengan memperkerjakan geisha?. Lihat adegan selanjutnya ketika Chiyo dididik menjadi geisha dengan biaya dari inangnya. Biaya itu diperhitungkan sebagai “hutang”. Hutang yang harus dibayarnya setelah resmi menjadi geisha. Biaya yang sebenarnya “kurang” dari nilai yang akan diciptakan dari sebuah komoditi yang diproduksi oleh geisha. Hubungan pemilik rumah geisha dan geisha memunculkan apa yang disebut dengan kelas. Kelas menurut Resnick dan Wolf dalam Fakih (2002:18) adalah proses dalam masyarakat dimana anggota masyarakat menduduki posisi tertentu dalam proses tersebut, yakni yang bekerja (geisha) dan yang tidak bekerja (danna dan inangnya) yang mengambil nilai lebih dan mendistribusikan geisha. Mereka yang berfungsi sebagai “pendistribusi” nilai lebih geisha disebut sebagai kelas menengah. Keberadaan geisha tergantung pada bagaimana kelas menengah ini memasarkan “produknya” (baca = geisha).

Tuntutan dan kebutuhan hidup membuat seorang geisha harus berusaha tampil sebaik mungkin menjadi entertainer. Geisha berusaha mendapatkan “danna”. Disinilah proses kelas berlangsung. Suatu proses dimana para geisha yang bekerja dan menghasilkan nilai lebih dan nilai lebih tersebut dihisap oleh orang yang tidak bekerja (danna dan inangnya) lalu didistribusikan lagi untuk membiayai seluruh kebutuhan hidup geisha dan mempopulerkan yunior-yuniornya yang seringkali diakui sebagai “adik”.

Ritual, Seks dan Relasi Kuasa

Geisha mempunyai ritual melepas keperawanan pada penawar tertinggi. Mereka merelakan itu karena mereka yakin tidak ada pilihan lain untuk hidup. Adegan dimulai dari Sayuri magang (maiko), dan terus diperkenalkan oleh Mameha ke setiap kunjungan rumah-rumah peristirahatan.

Dilatih sebagai seorang “calon” geisha dan tidak sembarang bergaul atau bercinta dengan sembarang orang. Hal ini untuk menjaga agar popularitas dan harga tawar tidak turun. Mizuage dirancang oleh Mameha pada momentum, waktu dan pilihan orang yang tepat. Sehingga saat itu harga penawaran Sayuri mencapai 15.000 yen, sebuah penawaran tertinggi sepanjang sejarah geisha.

Ritual yang menghalalkan prostitusi dimana relasi kuasa ikut berlangsung. Tidak hanya itu. Tubuh dan seks menjadi bagian yang menarik pada perempuan (Abdullah dalam Abdullah, 2001 :51). Aspek seksual dan sensual dari geisha ditampilkan dalam berbagai bentuk, seperti tarian kipas atau memperlihatkan belakang lehernya. Seks bukan sekedar pusat keberadaan geisha, tetapi merupakan inti dari peradaban yang keberadaannya sangat menentukan tatanan dan struktur yang mengatur hubungan-hubungan antar manusia (baca : relasi kuasa). Geisha menempatkan perempuan sebagai persembunyian laki-laki dalam mempertahankan kekuasaannya. Kekuasaan yang dibangun dengan ketakutan, kekhawatiran ataupun dengan kejahatan. Mizuage juga direncanakan oleh Mameha untuk mengcounter fitnah dan intrik dari Hatsumomo (Gong Li) dan geisha lainnya.

Tidak sembarang wanita bisa menjadi geisha, hanya dengan kecerdasan, paras yang mempesona dan ketrampilan seni, seorang geisha mampu mengangkat derajat dirinya sebagai geisha. Geisha dianggap sebagai penunjang derajat sosial pelakunya walaupun nantinya dia akan menjadi korban dari kejahatan geisha senior ataupun geisha lainnya seperti adegan fitnah yang dilakukan oleh Hatsumomo dan penghianatan Pumpkin, sahabat Sayuri.

Semangat Hidup dan Cinta

Adegan Mr. Chairman (Ken Watanabe) menghadiahkan es krim kepada Sayuri kecil adalah momen paling penting yang menjadi inti keseluruhan film. Sayuri kecil (Chiyo) yang tertekan karena kehilangan keluarga, hidup di rumah yang penuh fitnah dari Hatsumomo, dan hidup dalam lingkungan yang tidak pernah dia bayangkan, membuatnya “hampa”. Pertemuan yang sangat inspiratif. Cintanya kepada Mr. chairman (pada saat pertemuan itu chiyo berumur 9 tahun) membuat Chiyo mempunyai tujuan hidup. Sayuri kecil (Chiyo) ingin cepat dewasa, ingin cepat menjadi Geisha hanya untuk dapat dekat dengan Mr. Chairman. Dia menyimpan saputangan dan gambar kekasih hatinya sebagai obor semangat hidupnya.

Es krim, uang koin, saputangan sebagai penanda (signifier) dalam film ini memberikan petanda (signified) bahwa ada cinta diantara Chiyo dan Mr. Chairman. Kenangan pertemuan pertama kali yang membuat Chiyo (Sayuri) ingin menjadi Geisha. Padahal ketika menjadi seorang Geisha, dilarang untuk jatuh cinta dan hidup hanya untuk melayani hal lain selain diri sendiri (unselfish, beneficial & servitude).

Makna memoirs yang terbaca dalam keseluruhan narasi film ini adalah berupa kenangan betapa ada rahasia hati yang begitu inspiratif, dari seorang gadis cilik yang dibelikan es krim lalu berproses menjadi geisha yang demikian populer hanya untuk dapat hidup melayani Tuan yang dinantinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar