Minggu, 11 Oktober 2009

Sejarah YAKUZA

Sejarah panjang Yakuza dimulai kira-kira pada tahun 1612, saat Shogun Tokugawa berkuasa dan menyingkirkan shogun sebelumnya. Pergantian ini mengakibatkan kira-kira 500.000 orang samurai yang sebelumnya disebut hatomo-yakko (pelayan shogun) menjadi kehilangan tuan, atau disebut sebagai kaum ronin.



Seperti kata pepatah rang yang hanya punya martil cenderung melihat segala sesuatu bisa beres dengan dimartil..?, demikian juga dengan kaum ronin ini. Banyak dari mereka menjadi penjahat dan centeng. Mereka disebut sebagai kabuki-mono atau samurai nyentrik urakan yang ke mana-mana membawa pedang. Mereka berbicara satu sama lain dalam bahasa slang dan kode rahasia. Terdapat kesetiaan tingi di antara sesama ronin sehingga kelompok ini sulit dibasmi.

Apakah kaum ronin ini yang menjadi biang Yakuza?? Bukan.

Untuk melindungi kota dari para kabuki-mono, banyak kota-kota kecil di Jepang membentuk machi-yokko (satgas kampung). Satgas ini terdiri dari para pedagang, pegawai, dan orang biasa yang mau menyumbangkan tenaganya untuk menghadapi kaum kabuki-mono. Walaupun mereka kurang terlatih dan jumlahnya sedikit, tetapi ternyata para anggota machi-yokko ini sanggup menjaga daerah mereka dari serangan para kabuki mono. Di kalangan rakyat Jepang abad ke 17 ? kaum machi-yokko ini dianggap seperti pahlawan.

Masalah jadi rumit, karena setelah berhasil menggulung para ronin, para anggota machi-yokko ini malah meninggalkan profesi awal mereka ? dan memilih jadi preman. Hal ini diperparah lagi dengan turut campurnya Shogun dalam memelihara para machi-yokko ini. Ada dua kelas profesi para machi-yokko, yaitu kaum Bakuto (penjudi) dan Tekiya (pedagang). Namanya saja kaum pedagang ? tetapi pada kenyataannya, kaum Tekiya ini suka menipu dan memeras sesama pedagang. Walau begitu, kaum ini punya sistem kekerabatan yang kuat. Ada hubungan kuat antara Oyabun (Boss-bapak) dan Kobun (bawahan-anak), serta Senpai-Kohai (Senior-Junior) yang kemudian menjadi kental di organisasi Yakuza.

PEJUDI SEWAAN


Kaum Bakuto (penjudi), punya sejarah yang unik. Awalnya mereka disewa oleh Shogun untuk berjudi melawan para pegawai konstruksi dan irigasi. Untuk apa?? Agar gaji para pegawai konstruksi dan irigasi habis di meja judi ? dan tenaga mereka bisa disewa dengan harga murah!

Jenis judi yang biasa dilakukan adalah menggunakan kartu Hanafuda dengan sistem permainan mirip Black Jack. Tiga kartu dibagikan dan bila angka kartu dijumlahkan ? maka angka terakhir menunjukkan siapa pemenang. Nah diantara sekian banyak? kartu sial?, kartu berjumlah 20 adalah yang paling sering disumpahi orang, karena berakhiran nol. Salah satu konfigurasi kartu ini adalah kartu dengan nilai 8-9-3 ? yang dalam bahasa Jepang menjadi Ya-Ku-Za ? yang kemudian menjadi nama asal Yakuza.

Dari kaum Bakuto ini juga muncul tradisi menandai diri dengan tattoo sekujur badan (disebut irezumi) dan yubitsume (potong jari) sebagai bentuk penyesalan ataupun sebagai hukuman. Awalnya hukuman ini bersifat simbolik? karena ruas atas jari kelingking yang dipotong membuat si empunya tangan menjadi lebih sulit memegang pedang dengan mantap. Hal ini menjadi simbol ketaatan terhadap pimpinan.



Waktu pun berlalu, kaum Bakuto dan Tekiya menjadi satu identitas sebagai Yakuza. Kaum yang asalnya bertugas melindungi masyarakat – menjadi ditakuti masyarakat. Para pimpinan Jepang memanfaatkan hal ini untuk mengendalikan masyarakat dan menggerakkan nasionalisme. Yakuza ikut direkrut oleh pemerintah Jepang dalam aksi pendudukan di Manchuria dan China oleh Jepang tahun 1930-an. Para Yakuza dikirim ke daerah tersebut untuk merebut tanah, dan memperoleh hak monopoli sebagai imbalan.

Peruntungan kaum Yakuza berubah setelah Jepang menyerang Pearl Harbor. Militer mengambil alih kendali dari tangan Yakuza. Para anggota Yakuza akhirnya harus memilih apakah bergabung dalam birokrasi pemerintah, jadi tentara atau masuk penjara. Boleh dikata pamor Yakuza tenggelam.

Setelah Jepang menyerah, para anggota Yakuza kembali ke masyarakat. Muncul satu orang yang berhasil mempersatukan seluruh organisasi Yakuza. Orang itu adalah Yoshio Kodame, seorang ex-militer dengan pangkat terakhir Admiral Muda (yang dicapainya di usia 34 tahun). Yoshio Kodame berhasil mempersatukan dua fraksi besar Yakuza, yaitu Yamaguchi-gumi yang dipimpin Kazuo Taoka, dan Tosei-kai yang dipimpin Hisayuki Machii. Yakuza pun bertambah besar keanggotaannya terutama di periode 1958-1963 – saat organisasi Yakuza diperkirakan memiliki anggota 184.000 orang – atau lebih banyak daripada anggota tentara angkatan darat Jepang saat itu. Yoshio Kodame dinobatkan sebagai godfather-nya Yakuza.

Di masa kini, keanggotaan Yakuza diperkirakan telah menurun tajam – tetapi bukan berarti tidak berbahaya. Tulang punggung bisnis illegal mereka adalah pachinko, perdagangan ampethamine (termasuk ice dan ecstasy), prostitusi, pornografi, pemerasan, hingga penyelundupan senjata.

Di era 1980-an, Yakuza mengembangkan sayap mereka hingga ke Amerika, dan ikut masuk dalam bisnis legal untuk mencuci uang mereka. Dalam operasinya, Yakuza membeli asset di Amerika – dan salah satu yang pernah mencuat ke permukaan adalah keterlibatan Prescott Bush Jr., saudara dari presiden George Bush dan paman dari Presiden George W. Bush Jr., dalam transaksi penjualan perusahaan Asset Management International Financing & Settlements di awal 1990-an.

Berdasarkan perkiraan kasar dari sumber majalah Far Eastern Economic Review edisi 17 Januari 2002 – Yakuza diperkirakan telah menanamkan uang hingga USD 50 Milyar dalam investasi saham dan perusahaan di Amerika. Bandingkan dengan cadangan devisa Indonesia yang USD 36 Milyar.

Di dalam negeri, Yakuza juga ditengarai turut berperan dalam anjloknya ekonomi Jepang selama 10 tahun terakhir. Sebagai akibat amblasnya bisnis properti dan macetnya kredit bank di Jepang pasca 1990 – banyak debitor yang menyewa anggota Yakuza agar agunan mereka tidak disita oleh bank. Selain itu, banyak perusahaan yang memperoleh pinjaman bank – pada dasarnya adalah sebuah kigyo shatei atau perusahaan boneka miliki Yakuza. Perusahaan milik Yakuza ini diperkirakan memperoleh kredit antara USD 300-400 Milyar, dan sebagian dari jumlah itu dialirkan ke induk organisasi Yakuza. Menghadapi hal seperti ini - bank Jepang jelas tidak bisa berkutik.

Di sisi lain, anggota Yakuza juga kerap membeli asset properti dengan harga miring dari perusahaan yang butuh cash – untuk dijual kembali dengan harga tinggi – apapun itu mulai dari apartemen, perkantoran hingga rumah sakit. Bila sebuah bangunan telah dibeli oleh Yakuza – siapa sih yang berani jadi tetangga mereka? Alhasil harga properti langsung amblas, dan segera naik segera setelah Yakuza menjualnya.

Selain beroperasi secara di level bawah, Yakuza juga menggurita di kalangan politisi Jepang. Beberapa praktek suap telah terbongkar termasuk dalam program tender proyek umum senilai trilyunan yen. Program rekapitalisasi perbankan Jepang yang berlarut-larut tidak kunjung selesai – diperparah oleh keterlibatan Yakuza yang sangat berkepentingan dalam bisnis properti dan kredit perbankan. Saat ini perbankan Jepang masih menanggung beban kredit macet sebesar kira-kira USD 1,2 Trilyun – dan membuat ekonomi tidak bertumbuh selama 10 tahun terakhir.

wow usia Yakuza sudah lebih dari 4 abad yah..
nama awal yakuza unik juga penciptaannya...
dan yang bold diatas Yakuza organisasi yang besar dan kuat...
bahkan pemerintah jepang sendiri ikut menanggung kelakuan Yakuza..
btw di indonesia yang kaya Yakuza gini apa yah?






inikah god father jepang?



Bonus juragan.....!!!



yakuza cew.....!!!

Minggu, 04 Oktober 2009

GEISHA

“GEISHA adalah artis. Menjadi geisha adalah menjadi sebuah karya seni yang bergerak. Kita menciptakan sebuah dunia rahasia, tempat di mana yang ada hanyalah keindahan” (Mameha, Memoirs of Geisha)

Menonton Memoirs of Geisha adalah menyaksikan sebuah pengalaman hidup seorang geisha. Cinta, harapan, dan takdir memang tak selalu sejalan beriringan. Lewat film ini, jawaban seakan-akan disodorkan pada penonton menyangkut apa itu geisha. Geisha bukanlah pelacur. Ia tak lain adalah seniman atau artis yang dituntut menguasai berbagai keahlian menghibur, main musik dan menari. Pada akhirnya, geisha menjadi bagian penting dalam kehidupan borjuis Jepang kala itu. Perannya tidak bisa dianggap sebelah mata. Aura sensualitas menjadikannya pemikat. Menjadikannya sebagai bagian dari kultur dan khasanah serta tradisi Jepang.

Geisha berasal dari kata dalam bahasa Jepang gei yang berarti seni. Seorang geisha terlatih menyanyi, menari, dan memainkan musik seperti kecapi. Geisha merupakan sumber pesona di negara asalnya, Jepang, dan mancanegara. Geisha bukan wanita tunasusila yang wajahnya berlumur make-up putih dan mengenakan kimono dari bahan sutra saja, melainkan seorang wanita yang mencari nafkah dengan menghibur para pria berkedudukan tinggi. Geisha juga harus pandai berbicara, menjaga rahasia bahkan mampu menciptakan suasana dramatis hanya dengan menggerakkan kipas atau menggoda seseorang dengan hanya sedikit menampilkan belakang lehernya atau sekilas pergelangan tangannya.

Perempuan dijadikan komoditi

Cerita dimulai dengan adegan Chiyo (sayuri muda) dijual bersama kakaknya (satsu). Hal ini menandakan bahwa wanita seringkali hanya dianggap “barang” yang bisa dipertukarkan dengan uang. Era dimana tuan tanah dan pedagang kaya berkuasa, kemiskinan seakan menjadi takdir. Tertutupnya peluang untuk bekerja dan merintis karir membuat mereka menjual bagian dari keluarganya guna mendapatkan uang untuk pengobatan ibunya yang sakit keras.

Menurut Marx (Fakih, 2002: 7), komoditi selain memiliki sifat kegunaan (used value) juga mengandung sifat ‘exchange value’ yaitu sifat untuk diperjualbelikan. Geisha muncul karena perempuan jepang “dipaksa” untuk menjual tenaga mereka dalam bentuk yang dibutuhkan oleh kelas sosial tertentu untuk kelangsungan hidupnya. Komoditi baginya tidak hanya sebagai benda, melainkan tersembunyi hubungan sosial. Komoditi dapat dipertukarkan bukan saja karena fisiknya, melainkan hubungan sosial dari tenaga yang terkandung didalamnya. Tawar-menawar antara ”pemilik” dan ”pelatih” dalam film Memoirs of Geisha juga menggambarkan bahwa geisha adalah ”industri” yang menguntungkan.

Bagaimana pemilik rumah geisha (Nitta) menghasilkan kekayaan dengan memperkerjakan geisha?. Lihat adegan selanjutnya ketika Chiyo dididik menjadi geisha dengan biaya dari inangnya. Biaya itu diperhitungkan sebagai “hutang”. Hutang yang harus dibayarnya setelah resmi menjadi geisha. Biaya yang sebenarnya “kurang” dari nilai yang akan diciptakan dari sebuah komoditi yang diproduksi oleh geisha. Hubungan pemilik rumah geisha dan geisha memunculkan apa yang disebut dengan kelas. Kelas menurut Resnick dan Wolf dalam Fakih (2002:18) adalah proses dalam masyarakat dimana anggota masyarakat menduduki posisi tertentu dalam proses tersebut, yakni yang bekerja (geisha) dan yang tidak bekerja (danna dan inangnya) yang mengambil nilai lebih dan mendistribusikan geisha. Mereka yang berfungsi sebagai “pendistribusi” nilai lebih geisha disebut sebagai kelas menengah. Keberadaan geisha tergantung pada bagaimana kelas menengah ini memasarkan “produknya” (baca = geisha).

Tuntutan dan kebutuhan hidup membuat seorang geisha harus berusaha tampil sebaik mungkin menjadi entertainer. Geisha berusaha mendapatkan “danna”. Disinilah proses kelas berlangsung. Suatu proses dimana para geisha yang bekerja dan menghasilkan nilai lebih dan nilai lebih tersebut dihisap oleh orang yang tidak bekerja (danna dan inangnya) lalu didistribusikan lagi untuk membiayai seluruh kebutuhan hidup geisha dan mempopulerkan yunior-yuniornya yang seringkali diakui sebagai “adik”.

Ritual, Seks dan Relasi Kuasa

Geisha mempunyai ritual melepas keperawanan pada penawar tertinggi. Mereka merelakan itu karena mereka yakin tidak ada pilihan lain untuk hidup. Adegan dimulai dari Sayuri magang (maiko), dan terus diperkenalkan oleh Mameha ke setiap kunjungan rumah-rumah peristirahatan.

Dilatih sebagai seorang “calon” geisha dan tidak sembarang bergaul atau bercinta dengan sembarang orang. Hal ini untuk menjaga agar popularitas dan harga tawar tidak turun. Mizuage dirancang oleh Mameha pada momentum, waktu dan pilihan orang yang tepat. Sehingga saat itu harga penawaran Sayuri mencapai 15.000 yen, sebuah penawaran tertinggi sepanjang sejarah geisha.

Ritual yang menghalalkan prostitusi dimana relasi kuasa ikut berlangsung. Tidak hanya itu. Tubuh dan seks menjadi bagian yang menarik pada perempuan (Abdullah dalam Abdullah, 2001 :51). Aspek seksual dan sensual dari geisha ditampilkan dalam berbagai bentuk, seperti tarian kipas atau memperlihatkan belakang lehernya. Seks bukan sekedar pusat keberadaan geisha, tetapi merupakan inti dari peradaban yang keberadaannya sangat menentukan tatanan dan struktur yang mengatur hubungan-hubungan antar manusia (baca : relasi kuasa). Geisha menempatkan perempuan sebagai persembunyian laki-laki dalam mempertahankan kekuasaannya. Kekuasaan yang dibangun dengan ketakutan, kekhawatiran ataupun dengan kejahatan. Mizuage juga direncanakan oleh Mameha untuk mengcounter fitnah dan intrik dari Hatsumomo (Gong Li) dan geisha lainnya.

Tidak sembarang wanita bisa menjadi geisha, hanya dengan kecerdasan, paras yang mempesona dan ketrampilan seni, seorang geisha mampu mengangkat derajat dirinya sebagai geisha. Geisha dianggap sebagai penunjang derajat sosial pelakunya walaupun nantinya dia akan menjadi korban dari kejahatan geisha senior ataupun geisha lainnya seperti adegan fitnah yang dilakukan oleh Hatsumomo dan penghianatan Pumpkin, sahabat Sayuri.

Semangat Hidup dan Cinta

Adegan Mr. Chairman (Ken Watanabe) menghadiahkan es krim kepada Sayuri kecil adalah momen paling penting yang menjadi inti keseluruhan film. Sayuri kecil (Chiyo) yang tertekan karena kehilangan keluarga, hidup di rumah yang penuh fitnah dari Hatsumomo, dan hidup dalam lingkungan yang tidak pernah dia bayangkan, membuatnya “hampa”. Pertemuan yang sangat inspiratif. Cintanya kepada Mr. chairman (pada saat pertemuan itu chiyo berumur 9 tahun) membuat Chiyo mempunyai tujuan hidup. Sayuri kecil (Chiyo) ingin cepat dewasa, ingin cepat menjadi Geisha hanya untuk dapat dekat dengan Mr. Chairman. Dia menyimpan saputangan dan gambar kekasih hatinya sebagai obor semangat hidupnya.

Es krim, uang koin, saputangan sebagai penanda (signifier) dalam film ini memberikan petanda (signified) bahwa ada cinta diantara Chiyo dan Mr. Chairman. Kenangan pertemuan pertama kali yang membuat Chiyo (Sayuri) ingin menjadi Geisha. Padahal ketika menjadi seorang Geisha, dilarang untuk jatuh cinta dan hidup hanya untuk melayani hal lain selain diri sendiri (unselfish, beneficial & servitude).

Makna memoirs yang terbaca dalam keseluruhan narasi film ini adalah berupa kenangan betapa ada rahasia hati yang begitu inspiratif, dari seorang gadis cilik yang dibelikan es krim lalu berproses menjadi geisha yang demikian populer hanya untuk dapat hidup melayani Tuan yang dinantinya.